Di dunia ini ternyata ada empat hal yang tidak bisa diduga: lahir, kawin,
meninggal, dan ... Gus Dur!
Guyonan itu, rupanya, tidak berlebihan. Meski sudah banyak yang meramalkan
bahwa penampilan Gus Dur di depan DPR Kamis lalu bakal ramai, toh tidak ada
yang menyangka bahwa sampai seramai itu. Kalau bukan kiai, mana berani
menjadikan pidato Ketua DPR Akbar Tandjung sebagai sasaran humor? Akbar
sejak dulu memang selalu memulai pidato dengan memanjatkan syukur. Maka, Gus
Dur pun melucu, yang membuat semua anggota DPR tertawa: syukur memang perlu
dipanjatkan karena Syukur tidak bisa memanjat
Begitu menariknya, karuan saja pidato presiden kini banyak ditunggu penonton
televisi. Padahal, dulu-dulu kalau presiden pidato di TV banyak yang
mematikan TV-nya. Begitu tidak menariknya pidato presiden di masa Orde Baru
sampai-sampai pernah para anggota DPRD diwajibkan mendengarkannya. Itu pun
harus diawasi agar mereka sungguh-sungguh seperti mendengarkan. Untuk itu,
perlu diadakan sidang pleno DPRD dengan acara khusus nonton televisi.***
Mungkin Gus Dur tidak menyangka bahwa suatu saat dirinya jadi presiden.
Maka, di masa lalu banyak sekali presiden di dunia ini yang jadi sasaran
humornya. Misalnya saat tampil bersama humorolog Jaya Suprana di TPI tahun
lalu. Gus Dur menceritakan, Hosni Mubarak, presiden Mesir, sangat marah
karena seorang rakyatnya membuat 39 humor yang menyakitkan hati Mubarak.
"Saya ini presiden, saya bisa hukum kamu, apakah kamu tidak takut?" bentak
Mubarak. Apa jawab si pembuat humor? "Mohon ampun paduka. Humor ke-40 itu
bukan kami yang membuat!"
Saat itu Gus Dur juga menghumorkan Pak Harto yang sangat ditakuti, tapi
sebenarnya juga dibenci rakyat banyak. Suatu kali Pak Harto terhanyut di
sungai dan hampir meninggal. Seorang petani menolongnya dengan ikhlas. Si
petani tidak tahu siapa sebenarnya yang dia tolong itu. "Saya ini
presiden. Presiden Soeharto. Kamu telah menyelamatkan saya. Imbalan apa yang
kamu minta?" kata Soeharto. "Pak, saya hanya minta satu," jawab si petani.
"Jangan beri tahu siapa pun bahwa saya yang menolong Bapak." Presiden
Habibie yang doyan bicara itu juga dijadikan sasaran humor Gus
Dur. Suatu saat Gus Dur yang terkenal gampang tertidur (tapi selalu bisa
mengikuti apa yang dibicarakan orang selama dia tidur) menghadap Habibie.
Sang presiden bicara ke sana kemari tidak henti-hentinya. Apa komentar Gus
Dur? "Saya sih cuek saja. Biar dia bicara terus. Toh saya tidur," katanya.
***
Sikap cuek memang ciri khas Gus Dur. Namun bukan berarti mengabaikan. Dia
memang ngotot tetap keliling negara-negara ASEAN meski banyak tokoh
memintanya pulang (karena Aceh gawat). Bahkan, dia juga tetap ke AS dan
Jepang. Dan, sebentar lagi ke negara-negara Timur Tengah.
Apakah Gus Dur cuek sungguhan? Saya kira tidak. Gus Dur tentu tahu bahwa
salah satu syarat berdirinya sebuah negara adalah adanya pengakuan negara
lain. Sepanjang tidak ada negara lain yang mengakui, maka berdirinya sebuah
negara dianggap tidak sah. Nah, Gus Dur bisa sekalian keliling ke
negara-negara itu untuk merayu mereka agar jangan memberikan pengakuan dulu
kepada Aceh atau bagian mana pun dari Indonesia. Kalau seluruh negara ASEAN
tidak memberikan pengakuan, kalau AS dan Jepang tidak memberikan pengakuan,
kalau negara-negara Timteng bersikap sama dan demikian juga negara-negara
lain, maka kemerdekaan Aceh belum akan terjadi. Ini berarti Gus Dur masih
punya waktu untuk negosiasi dengan Aceh. Selama kurun waktu yang pendek itu,
Gus Dur bisa menuntaskan seluruh persoalan yang selama ini menyebabkan
rakyat Aceh marah. Ini berbeda dengan soal Timtim yang memang tidak diakui
dunia internasional sebagai bagian Indonesia.
***
Gus Dur memang kelihatan cuek, namun sebenarnya serius. Gus Dur juga
kelihatan sering mbanyol, namun juga serius. Sikap cuek itu bukan saja
tertuju kepada orang lain, tetapi juga kepada dirinya sendiri.
Suatu saat saya menjenguk Gus Dur yang diopname karena stroke di RSCM
Jakarta. Saat itu saya memang presiden direktur PT Nusumma dan Gus Dur
presiden komisarisnya. Saya lihat Gus Dur berbaring miring karena memang
belum boleh duduk. Setelah menyalaminya, saya mengucapkan permintaan maaf
karena baru hari itu bisa menjenguk. "Saya sakit gigi berat, Gus," ujar
saya.
Tanpa saya duga, Gus Dur ternyata men-cuekin keadaan kesehatannya. Dia
langsung memberi saya teka-teki yang ternyata humor segar. "Sampeyan tahu
nggak, apa yang menyebabkan sakit gigi?" tanyanya. "Tidak, Gus," jawab saya.
"Penyebab sakit gigi itu sama dengan penyebab orang hamil dan sama juga
dengan penyebab mengapa rumput sempat tumbuh tinggi," katanya. Saya masih
melongo. Gus Dur menjawab sendiri teka-tekinya. "Yaitu sama-sama terlambat
dicabut," ujarnya. Saya langsung tertawa.
Di saat yang lain pesawat yang akan ditumpangi Gus Dur ke Semarang batal
berangkat. Padahal, dia sudah lama menunggu. Gus Dur biasa sekali antre
tiket sendiri. Meski ada hambatan pada penglihatan, Gus Dur sudah sangat
hafal liku-liku bandara. Saking seringnya bepergian.
Saat itu di Jateng lagi getol-getolnya kuningisasi. Apa saja, mulai bangunan
sampai pohon-pohon, dicat kuning atas instruksi Gubernur Jateng Suwardi.
Maksudnya agar rakyat semakin mencintai Golkar. Maka, ketika para penumpang
lain marah-marah, Gus Dur cuek saja.
"Sampeyan tahu nggak mengapa pesawat ini batal berangkat ke Semarang?"
tanyanya. Lalu, dia menjawab sendiri pertanyaannya: "Pilotnya takut,
kalau-kalau begitu pesawatnya mendarat langsung dicat kuning," katanya.
Humor ini kemudian menjadi sangat populer.
***
Begitulah. Hampir tidak pernah pertemuan saya dengan Gus Dur tanpa diselipi
humor. Sasaran humornya bisa dirinya sendiri, bisa NU yang dia pimpin, bisa
juga para kiai sendiri.
Pernah Gus Dur punya humor begini: seorang kiai datang mengeluh kepadanya
karena satu di antara empat anaknya masuk Kristen. Sang kiai mengeluh,
kurang berbuat apa sampai terjadi demikian. Padahal, dia tidak
kurang-kurangnya berdoa kepada Tuhan agar tidak ada anaknya yang masuk
Kristen. "Sampeyan jangan mengeluh kepada Tuhan. Nanti Tuhan akan bilang,
saya saja punya anak satu-satunya masuk Kristen!"
***
Kita memang sedang melihat sosok presiden yang amat berbeda. Ketika dia
salah ucap di depan DPR dengan mengatakan "tentang pembubaran DPR ... eh,
Deppen dan Depsos..." dengan entengnya Gus Dur menertawakan dirinya sendiri
sebagai penutup kesalahan ucap itu. "Yah, beginilah kalau presidennya batuk
dan Wapresnya flu!"
Sama juga ketika dia tampil di forum internasional di Bali. Dengan
entengnya, Gus Dur mengejek dirinya sendiri dengan bahasa Inggris yang
sangat baik bagaimana sebuah negara yang presidennya buta dan Wapresnya
bisu.
***
Dari semua tokoh yang berkomentar terhadap laku Gus Dur seperti itu, adik
kandungnyalah yang bisa memberikan gambaran tepat. "Gus Dur itu seperti
sopir yang kalau belok tidak memberi richting dan kalau ngerem selalu
mendadak," ujar Salahuddin Wahid, sang adik.
Tapi, bisakah Gus Dur mengerem Aceh? Gus Dur tentu sudah mendengar Aceh itu
ibarat kelapa. Seperti yang disampaikan seorang tokoh Aceh di TV. Rakyat
adalah airnya, ulama adalah dagingnya, mahasiswa adalah batoknya, dan GAM
adalah sabutnya.
Tokoh tersebut berpendapat ulamalah yang harus dijaga. Sebagai ulama, tentu
Gus Dur lebih tahu bagaimana caranya. Gus Dur punya humor bagaimana harus
merangkul ulama. Suatu saat rombongan
ulama naik bus. Ada seorang ulama yang membuka jendela sehingga tangan si
ulama keluar dari bus. Ini tentu bahaya dan melanggar peraturan "dilarang
mengeluarkan anggota badan". "Jangan sekali-kali menegurnya dengan alasan
membahayakan tangan si ulama," ujar Gus Dur. Lalu bagaimana? "Bilang saja
begini: Mohon tangan Bapak jangan keluar dari jendela karena tiang-tiang
listriknya nanti bisa bengkok!".
***
Lalu, bagaimana sebaiknya sikap DPR setelah dijadikan sasaran humor Gus Dur
sebagai taman kanak-kanak itu? Sebaiknya dicuekin saja. Kalau DPR ribut
terus bisa-bisa Gus Dur malah dapat bahan humor baru. Misalnya dengan
mengatakan bahwa DPR ternyata malah seperti play group!
Bahkan, tidak mustahil kalau Gus Dur justru berkata begini: Kok sampeyan
yang tersinggung. Mestinya kan taman kanak-kanaknya!
di sadur dari Dahlan Iskan
Selasa, 05 Januari 2010
humor gus dur
Label: humor
Diposting oleh ahmad sub-hany zain di 00.36 0 komentar
Kamis, 04 Juni 2009
fatwa haram MUI tentag facebook
Umat Islam diharapkan mampu memaknai dan menyikapi kemajuan teknologi secara bijak, tidak dengan langsung mengeluarkan fatwa halal atau haram yang melihat suatu persoalan secara hitam putih.
Hal ini disampaikan oleh Wakil Rais Aam PBNU KH Tolhah Hasan, menanggapi keluarnya fatwa haram penggunaan situs jejaring sosial seperti facebook dan friendster karena dianggap bisa menimbulkan kemudharatan bagi umat Islam oleh Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMPP) se-Jawa Timur di pesantren Lirboyo Kediri pekan lalu.
"Masalah teknologi bagian dari ilmu, produk dari ilmu, jadi bukan ilmunya sendiri yang halal dan haram, tetapi penggunaanya yang bisa menjurus pada sesuatu yang halal dan haram. Dalam bahasa usul fikih, haram karena ada hal lain, bukan haram karena dzatnya," katanya.
Mantan Menteri Agama ini menduga (FMPP) se-Jawa Timur ini belum memiliki informasi yang jelas dan pemahaman yang pas dalam mengeluarkan fatwa ini sehingga timbul fatwa yang menimbulkan kontraversi.
"Kejadian seperti ini sudah berulang kali terjadi, satu masalah belum diketahui secara sempurna sudah diputuskan. Kalau ada kesempatan, Pak Nuh (Menkominfo.red) bisa mengadakan dialog dengan pengasuh pondok pesantren," jelasnya.
Dikatakannya, kualitas informasi yang diperoleh menjadi penentu seseorang dalam mengambil sikap, ketika informasinya tidak lengkap, keputusan yang diambil juga bisa salah. Tolhah mengutip sebuah pepatah Arab yang mengatakan, manusia memusuhi sesuatu yang tidak diketahuinya.
"Makanya, ketika Nabi Muhammadi dimusuhi oleh kaum Quraish, beliau berdoa, ‘Ya Allah berilah petunjuk pada kaumku karena mereka belum mengerti," katanya.
Pengharaman kepada teknologi baru sudah seringkali terjadi dikalangan umat Islam yang kurang memahami esensi dari produk ini. Ia mencontohkan sikap pengharaman rezim pemerintah Saudi beraliran Wahabi yang mengharamkan TV, telepon dan lainnya pada saat awal kekuasaan mereka. Namun, sekarang hal tersebut tidak dipermasalahkan, malah dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
"Umat harus mengetahui hakikat teknologi informasi, bisa dimanfaatkan untuk memperoleh informasi dan pengetahuan secara lebih mudah. Persoalannya adalah kalau disalahgunakan," tandasnya.(nov/nu.ol)
foto: nuonline
Diposting oleh ahmad sub-hany zain di 04.35 0 komentar
Selasa, 24 Maret 2009
Sabtu, 14 Maret 2009
bacaanQ
Nasr Hamid Abu Zaid – lalu disebut Abu Zaid --, seorang profesor bidang bahasa dan sastra Arab di Universitas Kairo Mesir, mengatakan bahwa penyangkalan atas tekstualitas Alqur'an memaksakan ketaatan yang ketat bagi sebuah pemaknaan literal terhadap teks. Dan, hal itu hanya dapat diakses opleh suatu otoritas religius yang mengkalim sebagai pelindung –pengawal Islam.
Dari pernyataan di atas dapat dipahami bahwa sebenarnya Alqur'an merupakan teks yang tercipta (baca; makhluk) dan tidak kekal. Argumentasi logis terhadap tekstualitas Alqur'an yaitu, Alqur'an ketika diwahyukan kepada Muhammad telah memasuki wilayah historisitas manusia yang profan dan menjadi sebuah teks sama seperti teks-teks lain yang membuka ruang reinteprtetasi terhadap hukum keagamaannya. Sehingga, melahirklan dua pemahaman di kalangan umat Islam dalam memposisikan Alqur'an. Pertama, alqura'n diaykini sebagai kalam Allah yang Qadim. Kedua, Alqur'an dipahami sebagai sebuah teks yang bebas dimasuki oleh ruang penafsiran.
Pendapat pertama memposisikan Alqur'an sebagai segala-galanya. Artinya, Alqur'an sebagai kalam yang diletakkan kepada keqadiman Allah, mau tidak memaksa kita untuk menyatakan bahwa Alqur'an juga kekal dan tak tercipta, benarkah? Ada beberapa logika yang perlu kita kembangkan untuk memahami persoalan keqadiman Alqur'an. Logika ini kita kembangkan dengan bersumber pada pemikiran Islam sendiri atau logika agama. Dari aspek penciptaan, kita ketahui bahwa eksistensi ini hanya bisa diklasifikasikan kedalam dua pihak, pihak pertma adalah pencipta (khaliq) dan kedua adalah yang diciptaka (makhluk).
Dua eksistensi tersbut, kita konfrontasikan dalam konteks Alqur'an yang jyga dibagi kedalam dua kutub. Sebagai perncipta, pastilah Allah adanya, karena logika agama tidak memberikan ruang altermnatif lain dalam masalah penciptaan. Karena Allah sebagai sang pencipta, maka Alqur'an – mau tidak mau – adalah makhluk ciptaan Allah. Ini sebagai konsekuensi logis konsep ketauhidan dalam agama Islam bahwa sang pemncipta hanya satu, yaitu Allah saja. Selain itua adalah makhluk yang tercipta dan baharu atau tidak qadim. Memaksa keqadiman Alqur'an berarti juga kita memaksa Alqur'an untuk sama dengan Tuhan (Allah).
Untuk itu, kita perlu memilih alternatif kedua yang memposisikan Alqur'an teks yang tercipta oleh Tuhan (Allah) yang menuntut kejelian dan pemikiran yang sangat mendalam untuk mampu menangkap dan mengungkap pikiran-pikiran Tuhan yang tertuang dalam bentuk simbol-linguistik kemanusiaan (teks) serta maksud yang terkandung di balik teks tersebut. Sehingga menghasilkan ajaran keagamaan (Islam) yang tidak lagi (hanya) bersifat arab oriented, serta spiritnya selalu relevan dengan perkembangan zaman, baik perkembangan bahasa, sosial, budaya dan tradisi dimana dan kapan teks (Alqur'an) itu berada.
Mengutip pendapatnya David Tracy dalam Plurality and Ambiguity: Hermeneutics, Religion, Hope, Farid Essack, intelektual muslim dari Afrika Selatan mengatakan, bahwa setiap penafsir mendatangi teks dengan membawa sejarah kompleks yang kita sebut tradisi. Tak ada kemungkinan untuk lepas dari tradisi, seperti halnya tak ada kemungkinan untuk lepas sejarah dan bahasa.
Dekonstruksi pemahaman terhadap teks – dari ahistoris-transenden menuju historis-humanis – sangat gencar dilakukan oleh para pemikir Islam kontemporer. Abu Zaid dalam Divine Attributes in the Qur'an mengatakan bahwa, firman Tuhan harus dipahami menurut spiritnya, bukan menurut yang tersurat. Konsekuensi finalnya adalah bahwa otoritas-optoritas publik dan atau masyarakat berhak sebagai pelaku peran utama dalam menafsirkan dan mengaplikasikan hukum itu.
Ali, sang menantu Nabi, melontarkan statemen terkait dengan Alqur'an bahwa al qur'an khoththun masthurun bayna daffatayni la yanthuqu innama yatakallam bihi al rijal (Alqur'an hanyalah sebuah tulisan yang ditulis di antara dua lembar kertas, ia tidak bicara. Manusialah yang membuatnya bicara). Teks suatu benda mati yang tak bisa berkembang yang dikonstruk dan terikat oleh sosio-kultur setempat. Butuh suatu interpretasi supaya teks dapat punya nilai dan makna serta m,ampu berdialog engan realitas kemausiaan. Spirit di balik teks harus dibedah dan dimunculkan, untuk itulah tak ada yang sakral dalam teks, yang sakral dan abadi adalah spirit yang dikandungnya. Publik berhak untuk menerjemahkan senyampang masih dalam koridor kebenaran universal dan memihak kepada fitrah kemanusiaan. Hal demikian juga berlaku terhadap Alqur'an atau wahyu, yang telah memasuki dimensi ruang dan waktu.
Alqur'an dipandang seperti halnya teks yang lain. Ia tunduk pada penafsiran sebagai sebuah kitab hukum, suatu karya sastra, teks filosofis, dokumen sejarah, dan sebagainya. Seluruh teks harus tunduk kepada aturan penafsiran yang sama. Distingsi antara yang sakral dan profan tidak terkait dengan hermeneutika umum, namun dengan praktek keagamaan. Begitulah ungkapan guru Besar Filsafat dari Universitas Kairo Mesir, Hassan Hanafi.
Sebuah pendapat yang sangat ekstrim dan berani serta punya resiko yang sangat besar karena telah menentang mainstrem pendapat para ulama konvensional yang mengatakan bahwa teks Alqur'an sangat sakral, bahkan dikultuskan. Walaupun sebenarnya, Hassan Hanafi disatu sisi tetap meyakini orisinalitas wahyu in verbatim yang tertulis sesuai dengan yang diucapkan oleh Nabi tanpa ada pengurangan atau penambahan. Abu Zaid, Essack, dan Hanafi menginginkan tekls didekati berdasarkan kondisi riil sang penafsir (interpreter) sebagai rujukan dan juga pembaca, sehingga Alqur'an bisa memberikan dasar bagi sebuah kesadaran universal.
Klaim tentang teks yang suci dan kekal itu, hanya akan membawa pada syirik, karena ia hendak merancukan pemahaman antara yang tetap dan yang berubah, yang kekal dan fana', yang absolut dan yang relatif.................................antara tujuan Tuhan dan pemahaman manusia. Selamat berpikir!
Laskar Pelangi adalah sebuah tetralogi karya penulis muda Andrea Hirata. Buku ini mengambil latar kehidupan masyarakat Belitung di masa kini, yang tetap hidup dengan segala keterbatasan yang masih tradisional.
Hampir sebagian besar novel ini dituturkan dalam sudut pandang orang pertama, dengan Ikal sebagai tokoh utama. Cerita berkisar seputar kehidupan ikal dan kesembilan orang temannya dari mulai masuk SD hingga tumbuh dewasa. Anak-anak SD Muhamaddiyah inilah yang menamakan dirinya sebagai Laskar Pelangi.
Buku ini sangat layak dibaca, mengingat kualitasnya yang sangat baik dan memberi warna lain dalam dunia kesusastraan Indonesia yang belakangan ini banyak didominasi oleh unsur seks dan eksploitasi.
Diposting oleh ahmad sub-hany zain di 20.54 0 komentar
Selasa, 10 Maret 2009
Diposting oleh ahmad sub-hany zain di 04.05 0 komentar
serba-serbi pcipnu kabpas
IPNU Gelar Lomba Drum Band Pelajar
Friday, 21 March 2008
Dalam rangka mewujudkan komitmen visi kepelajaran IPNU, pada Minggu 24 Pebruari lalu, PC IPNU Kabupaten Pasuruan menggelar Lomba Drum Band Antar Pelajar yang diikuti utusan sekolah se kota dan kabupaten Pasuruan. Lomba yang dimaksudkan memperingati harlah IPNU tersebut dilaksanakan di Lapangan Wonorejo dan berlangsung meriah, penuh sesak oleh pengunjung di sepanjang jalan menuju lokasi acara. Tampil sebagai juara umum, Grup Drum Band MMP NU Grati yang berhak meraih tropi dan uang pembinaan.
Diposting oleh ahmad sub-hany zain di 03.51 0 komentar